Jumat, 20 November 2009

Keadilan yang Ambigu 2

Artikel ini merupakan lanjutan dari kisah Nenek Minah yang di tulis oleh Eko Widiyanto pada Republika edisi Jumat, 20 November 2009.

Air Mata tak tertahankan jatuh di mata hakim yang membacakan berkas putusan vonis terdakwa pencurian tiga buah kakao, Nenek Minah. Para penegak keadilan yang lain pun terlihat galau dan sedih saat mengikuti jalannya pengadilan. Mereka membayangkan seandainya Nenek Minah itu ibu mereka, tiga butir kakao membawa seorang ibu mereka yg sudah tua renta ke dalam pengadilan.

Sisi kemanusiaan lagi-lagi harus bentrok dengan proses formal suatu lembaga penegak hukum.  Majelis hakim menilai, polisi, jaksa, dan hakim, mestinya bisa melihat dampak yang ditimbulkan dari perbuatan pelaku. ''Kalau dampaknya tak terlalu merugikan masyarakat secara luas, termasuk korban sendiri, mestinya bisa ditangani dengan pendekatan lain dulu, sehingga tidak semua diproses pidana,'' kata hakim Bambang saat sidang di PN Purwokerto, Jateng, Kamis (19/11).

Yang jelas, selama proses persidangan berlangsung, majelis hakim mengaku tidak menemukan hal-hal yang memberatkan pada Nenek Minah. Pertimbangan yang meringankan, lanjut Bambang, terdakwa Minah sudah lanjut usia, petani tua yang tidak punya apa-apa, selalu menghadiri persidangan tepat waktu meski harus tertatih-tatih karena sudah tua dan rumahnya jauh.

Bahkan, proses hukum yang telah dijalani terdakwa Minah telah membuatnya letih jiwa raga, serta menguras tenaga dan harta bendanya. ''Semua yang dialami terdakwa Minah tersebut sudah cukup menjadi hukuman bagi dirinya,'' tutur Bambang, saat membacakan amar putusan.

Dengan dalih-dalih itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman 1 bulan 15 hari kepada Minah dengan masa percobaan tiga bulan penjara. Hukuman tersebut tidak lagi dijalani Minah, karena sudah menjadi tahanan rumah dari 13 Oktober sampai 1 November.

Bila dalam tiga bulan, Minah, warga Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kec Ajibarang, Kab Banyumas, itu kembali tersangkut masalah pidana, maka dia harus menjalani hukuman di atas. Minah juga harus membayar biaya perkara senilai Rp 1.000. Terhadap putusan tersebut, jaksa penuntut umum (JPU), Noorhaniyah SH, menyatakan pikir-pikir untuk mengajukan banding.

Begitu sidang ditutup, keluarga dan kerabat Minah beserta puluhan warga yang memadati ruang sidang sontak bertepuk tangan. Nenek Minah yang diminta berdiri mendengar putusan tersebut, terlihat melontarkan senyum bersahaja.''Ibu Minah bisa memahami keputusan ini?'' tanya ketua majelis hakim.Nenek Minah pun menjawab, ''Nggih , Pak Hakim.  Matur nuwun (iya Pak Hakim. Terima kasih),'' jawabnya, lugu.

Minah pun langsung keluar ruang sidang. Seakan tak sabar ingin segera pulang, ia lupa menyalami para hakim dan jaksa. Langkahnya tergopoh-gopoh saat hendak keluar kompleks gedung PN.

Sebelum melangkah jauh, Minah sempat dihadang para aktivis LSM yang memberikan ucapan selamat. Bahkan, salah seorang aktivis menyerahkan uang yang dikumpulkan dari para pengunjung sidang. '' Niki ngge sangu kondur, Mbah (Ini buat bekal pulang, Mbah),'' kata seorang aktivis LSM tersebut.

Masalah ini sebenarnya telah selesai saat Nenek Minah meminta maaf kepada 2 mandor PT.RSA dan mengembalikan 3 buah kakao yang telah dicurinya. Sayangnya PT.RSA nampaknya tidak puas dengan permintaan maaf tersebut dan memilih untuk melawan seorang petani tua bernama Minah dengan jalan hukum.

Bagi masyarakat, kasus ini hendaklah dijadikan bahan perenungan bagi kita semua bahwa sisi kemanusiaan memegang peran penting dalam langkah hidup kita. Intinya Nurani lah yang memegang fondasi hidup kita.

Nenek minah mendapat pelajaran bahwa tindakan pencurian walau terlihat kecil dapat menimbulkan kerugian yang besar untuk dirinya sendiri.

Para penegak keadilan mendapat pelajaran bahwa proses formal dalam keadilan yang mau tidak mau harus mereka lakukan sedikit mengeyampingkan sisi kemanusiaan.

Untuk PT. RSA? setidaknya mereka mendapat pelajaran bahwa masyarakat di era ini tidak buta akan informasi. Informasi kecil dapat menjadi suatu berita besar di era ini yang secara langsung baik tidak langsung merusak nama PT.RSA itu sendiri.

neraca keadilan telah ditegakkan.....:)

Tidak ada komentar: